Sabtu, 28 November 2009

Tabiat Manhaj Alquran (2)

Dari Buku: Ma'alim fith Thariq atau Petunjuk Jalan.

Penulis: Sayyid Qutb.

Rasulullah SAW diutus ketika moral masyarakat Arab sedang di jurang kemerosotan, melebihi keadaan moral umat manusia di masyarakat kuno dan primitif. Kekejaman, penindasan, penganiayaan dan pelanggaran hak orang lain membudaya di masyarakat.

Ini jelas tergambar oleh rangkaian syair Zuheir bin Abi Salma, seorang penyair terkenal di zaman jahiliyah:

“Siapa saja yang tidak menjaga kehormatan diri dan kebebasannya dengan pedang dan senjatanya,

Akan dimusnahkan orang, begitu juga siapa yang tidak melakukan kezaliman terhadap orang lain, akan menerima kezaliman orang lain ke atas dirinya.”

Juga digambarkan oleh pepatah Arab zaman jahiliyah yang berbunyi:

“bantulah saudaramu baik dia seorang zalim atau seorang yang dizalimi.”

Minuman keras dan judi merupakan kebiasaan sehari-hari yang sangat meluas di masyarakat. Bahkan merupakan suatu kebanggaan masyarakat. Gambaran masyarakat itu dilukiskan oleh penyair Tarfah bin Al-Abd:

“Seandainya tiada tiga syarat kebanggaan pemuda, hidupku takkan meriah dan aku tak akan menjamu teman sebaya: Bujukan manis si genit jelita berwajah ayu, hidangan arak membuih, si genit pembuka selera, kepingan uang gemerincing menjamu teman seiring, uang baru dan sisa peninggalan lama, semuanya ku hamburkan seenak rasa. Aku ingin disanjung dipuja. Akulah pemuda gagah perkasa…

Pelacuran dalam berbagai bentuknya sudah menjadi tradisi kebanggaan masyarakat jahiliyah, seperti yang tergambar dalam hadis riwayat Aisyah RA:

"Perkawinan di zaman jahiliyah ada empat jenis:

Pertama: Perkawinan seperti yang berlaku di zaman kita, yaitu seorang lelaki meminang seorang anak perempuan orang lain yang halal dinikahinya, atau seorang perempuan yang di bawah jagaan orang lain yang menjadi walinya; manakala pihak kedua itu menerima pinangan itu, maka terjadilah perkawinan.

Kedua: Seorang suami berkata kepada isterinya ketika si isteri itu suci dari haidnya: pergilah kau menemui si anu itu dan ambillah keturunannya, lalu si suami itu tidak menyetubuhi isterinya itu hingga didapatinya si isteri itu mengandung hasil hubungan jenis dengan orang yang disuruh ambil keturunannya itu. Dan bila jelas si isteri telah benar-benar mengandung, barulah si suami itu menyetubuhi isterinya kalau dia mahu.

Sang suami menyuruh isterinya berbuat demikian karena dia menginginkan seorang anak yang pintar. Perkawinan jenis ini dinamakan “kawin mencari anak pintar.”

Ketiga: Sekumpulan laki-laki, kira-kira tak sampai sepuluh orang, bersepakat menyetubuhi seorang perempuan tertentu. Semua mereka melakukan persetubuhan itu (sesuai giliran masing-masing). Bila si perempuan hamil dan melahirkan, setelah berlalu beberapa waktu setelah kelahiran anak itu, maka perempuan tadi pun menjemput setiap orang yang terlibat dalam kesepakatan menyetubuhinya itu dahulu, dan dalam hal ini tidak seorang pun yang bisa mengelak dan melepaskan diri.

Setelah peserta kesepakatan itu berkumpul, maka perempuan itu pun berkata: “Wahai lelaki sekalian, kamu semua tentunya telah maklum tentang apa yang telah kalian lakukan. Nah ini dia, aku telah melahirkan anak kalian. Ini anakmu wahai si fulan...., beri namalah anakmu ini sesuka hatimu,” lalu diserahkannya anak itu kepada orang yang dipilihnya itu, dan orang itu tidak boleh menolak.

Keempat: Beberapa orang berkumpul untuk menyetubuhi seorang perempuan secara bergiliran (tanpa kesepakatan apa pun) dan perempuan itu tidak boleh menolak siapa saja yang ingin menyetubuhinya. Perempuan itu akan meletakkan selembar kain sebagai tanda di pintu rumahnya kalau ada seseorang yang sedang menyetubuhinya (siapa saja yang suka boleh menyetubuhinya).

Bila perempuan lacur itu mengandung dan melahirkan anak, seluruh lelaki tadi akan berkumpul dan membuat kesepakatan dan persetujuan sesama mereka tentang siapakah di antara mereka yang patut menjadi bapak anak itu; dan orang yang dipilih itu- tidak boleh menolak keputusan bersama itu dan mesti sanggup menerima tanggungjawab sebagai ayah si anak itu. (Hadis riwayat Bukhari di dalam Bab Al-Nikah)

Barangkali ada pula orang berkata: Bahwa Nabi Muhammad SAW bisa menjalankan dakwah reformasi untuk memperbaiki keadaan masyarakat supaya dapat meninggikan tingkatan moral dan membetulkan sendi-sendi perjalanan masyarakat itu serta kemurnian jiwa para anggotanya.

Orang lain mungkin berkata: pada saat itu Rasulullah bisa mendapatkan beberapa orang tertentu yang telah dirusak oleh masyarakat, lalu membimbing mereka menyahut seruan reformasi itu, seperti yang kerap dilakukan oleh tokoh-tokoh reformasi lainnya.

Mungkin ada pula pendapat lain yang mengatakan kalaulah Rasulullah SAW berbuat seperti itu, nescaya beliau akan disambut dan disanjung oleh sebagian besar orang yang masih suci moral dan jiwanya, dan dengan demikian, tambah mendekatkan penerimaan seruan akidah yang dipeloporinya daripada mendeklarasikan seruan LA ILAAHA ILLALLAH itu, yang ternyata mendapat tentangan hebat sejak awal dakwah dimulai.

Tetapi, Allah SWT Maha Mengetahui bahwa itu bukanlah jalannya. Maha Mengetahui bahwa moral dan akhlak yang baik itu tidak akan dapat tegak melainkan di atas asas akidah yang membuat pertimbangan-pertimbangan, dan menetapkan nilai-nilai, seperti juga akidah itulah fondasi yang menjadi tempat tegaknya pertimbangan dan nilai itu. Serta, ada balasan atau ganjaran untuk orang yang patuh atau melanggarnya.

Sebelum akidah itu ditancapkan dan sebelum kekuatan itu ditegakkan, maka nilai-nilai apa pun menjadi labil dan tak tetap. Begitu jugalah moral dan akhlak yang didirikan di atas nilai-nilai yang labil akan menjadi goncang; tiada panduan, tiada ganjaran dan tiada pengaruh apa pun.

Manakala akidah itu menghujam kuat - tentunya setelah menempuh kesukaran – dan kekuatan yang menjadi dasar bagi akidah itu telah tegak, manakala umat manusia itu kenal akan Tuhannya dan mengabdikan diri kepada Tuhannya saja, manakala umat manusia melepaskan diri dari penguasaan hamba-hamba Tuhan dan syahwat nafsu durjana, manakala LA ILAAHA ILLALLAH meresap ke dalam lubuk hatinya, niscaya Allah akan melakukan semua apa yang dicita-citakan tadi itu, dan niscaya bumi Allah ini akan lepas bebas dari unsur-unsur kekuasaan Romawi dan Parsi. Bukan untuk diambil alih oleh kekuasaan bangsa Arab, tetapi untuk dipastikan bahwa tidak ada yang berkuasa melainkan Allah.

Bersihlah bumi ini dari kekuasaan TAGHUT, seluruhnya, apakah thagut yang berbangsa Romawi, Parsi, Arab dan lain-lain.

Ketika itu, masyarakat seluruhnya akan lepas bebas dari semua penganiayaan dan penindasan sosial dan akan tegak berdiri sistem Islam yang menegakkan keadilan menurut keadilan Allah, melaksanakan hukum-hukum Allah, dan dengan hukum ini, berkibarlah bendera keadilan sosial dengan nama Allah saja, memakai lambang dan nama ISLAM tanpa dipengaruhi oleh nama-nama yang lain selain LA ILAAHA ILLALLAH. Inilah dekralasi yang berkibar megah melindungi masyarakat umat manusia.

Jiwa dan akhlak pun akan bersih, begitu juga hati nurani dan ruh, tanpa menungu perintah, tanpa mengharapkan ganjaran, kecuali dari Allah. Karena pengawasan yang benar telah ada di dalam hati yaitu dengan mengharapkan keridaan Allah serta merindukan kurnia-Nya, malu kepada Allah dan takut murka-Nya. Itulah pengawas yang sebenarnya.

Nilai manusia pun dengan sendirinya menjadi tinggi, baik di dalam sistem maupun di dalam seluruh kehidupan, meningkat ke suatu tingkat yang belum pernah dicapai dan belum ada bandingannya, kecuali di bawah panji-panji Islam.

Ini semua terealisir dengan sempurna, karena orang yang menegakkan agama ini di dalam bentuk pemerintahan dan sistem kehidupan, dalam bentuk syariat dan undang-undang, mereka itu semuanya sebelumnya karena memang telah menegakkan agama ini di dalam hati nurani mereka, di dalam keseharian mereka mulai dari akidah, akhlak, amal ibadat dan segala urusan hidup yang lain.

Mereka hanya berharap satu hal dalam menegakkan agama ini, yaitu harapan yang tidak dipengaruhi oleh apa pun, yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan duniawi ini, yaitu harapan akan janji surga dari Tuhan mereka. Janji ini disediakan untuk mereka dalam menghadapi jihad yang hebat itu, dalam mengarungi samudera perjuangan yang luas tak bertepi. Mereka terus menjalankan dakwah, menentang jahiliyah di mana saja dengan memakai senjata yang tak akan usang di setiap tempat dan zaman, yang paling ditakuti oleh para penguasa di mana saja, yaitu senjata LA IL.AAHA ILLALLAH.

Bila mereka diuji Allah, mereka terus bersabar. Jiwa mereka lepas bebas dari rasa kepentingan diri dan Allah telah rmenyaksikan bahwa mereka tidak mengharapkan pembalasan apa pun di dalam dunia yang fana ini, walaupun merekalah yang menjayakan dan menjadi ujung tombak kemenangan dakwah dan merekalah yang berjuang mendaulatkan agama; tapi hati mereka tetap bersih dari sebarang rasa bangga, mulai dari bangga dengan kebangsaan, bersih dari rasa cinta kepada tanahair, dari keangkuhan keturunan dan keluarga.

Ya..., manakala Allah menyaksikan bahwa mereka berkeadaan demikian, nescaya Allah pula akan membuat ketentuan bahwa mereka berhak memegang amanah yang sangat penting itu, mereka setia memegang akidah dengan hanya Allah saja yang menguasai hati, nadi dan perilaku mereka, menguasai ruh dan harta benda mereka, menguasai dasar dan peraturan hidup mereka. Merekalah pemegang amanah yang setia terhadap amanah kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka untuk menegakkan syariat Allah SWT di bumi ini.

Mereka melaksanakan manhaj dakwah dengan begitu sempurna, tanpa penyimpangan sedikit pun, walaupun dengan alasan untuk menolong teman-teman mereka dan kaum keluarga yang dikasihi, untuk membantu anak bangsa sendiri. Karena mereka paham benar bahwa yang ada di tangan mereka pada hakekatnya adalah kepunyaan Allah SWT.

Program yang agung ini tidak akan dapat dilaksanakan kecuali bila dakwah dapat menguasai keadaan dan mengibarkan bendera mulia itu, bendera LA ILAAHA ILLALLAH. Juga, bila dakwah itu sanggup menempuh jalan yang berliku-liku dan menanjak.

Program ini tidak akan bisa murni karena Allah kalau diawali dengan metode dakwah yang bercorak kebangsaan atau bercorak sosial atau berupa seruan ke arah kebaikan moral atau mengibarkan bendera dan panji-panji yang lain selain LA ILAAHA ILLALLAH.

Demikian halnya ayat-ayat Al-Quran periode Mekah itu dalam menerapkan pengaruh LA ILAAHA ILLALLAH ke dalam hati dan fikiran manusia. Dengan memilih jalan ini, walaupun merupakan jalan yang penuh susah dan derita, tapi mereka tidak memilih jalan sampingan yang lain.

Adapun halnya Al-Quran ayat Makiyah itu mengulas hal-hal keyakinan saja tanpa menoleh kepada perincian sistem yang menjadi landasan kepadanya dan kepada masalah perundangan yang mengatur urusan mu'amalah. Hal ini patut menjadi bahan renungan secara serius oleh para pendakwah ke arah agama ini.

Sesungguhnya bentuk dan tabiat agama ini sendiri yang membuat ketentuan ini karena ia adalah suatu “din” atau agama yang tegak di atas dasar mentauhidkan Allah. Dasar tauhid yang menjadi akar segala sistem dan peraturannya, seperti sepohon kayu yang besar, berdaun rindang, berdahan rimbun, melambai-lambai ke udara; karena ada akar kokoh yang menghujam kuat di perut bumi, memakan ruang yang sangat luas dan jauh, sesuai dengan besar dan rindangnya pohon itu.

Begitu pula dengan agama ini; peraturannya meliputi seluruh aspek hidup, mengatur dan memandu urusan hidup manusia, mulai urusan yang besar dan kecil dan lebih dari itu, ia mengatur penghidupan manusia di alam abadi, di akhirat, bukan sekadar alam nyata yang dapat dirasa dan diraba dengan pancaindera semata, juga meliputi alam yang serba sulit dan tersembunyi, alam ghaib yang tak terjangkau oleh kemampuan nalar manusia yang serba lemah ini tidak terbatas di dalam urusan materi semata, tapi juga menjangkau alam fikiran dan khayalan, alam hati dan perasaan yang serba sulit dan aneh.

Ini adalah sebagian saja dari rahasia dan bentuk asli agama ini, yaitu program pembinaan akidah yang meliputi semua arah lapangan kehidupan, bagaikan sebatang pohon besar yang punya akar yang terhunjam di perut bumi, dahan dan daunnya yang subur dan berdiri tegak di tengah-tengah peredaran udara.

Manakala akidah LA ILAAHA ILLALLAH itu meresap di lubuk hati, niscaya akan meresap pula peraturan-peraturan yang dibawa oleh LA ILAAHA ILLALLAH itu dan tegaklah sebuah peraturan tunggal yang telah diridai oleh jiwa yang telah diresapi oleh akidah itu dan jiwa itu rela menyerah kepada sistem itu walaupun tanpa huraian yang lanjut tentang sistem-sistem dan perundangan yang lain.

Penerimaan itu tidak perlu dengan uraian detil, bahkan hanya dengan diberitahu dan disampaikan saja peraturan itu, maka ia terus diterima dengan baik, dengan penuh kerelaan dan kepatuhan. Hal itulah yang akhirnya mengubur kebiasaan suka minum arak, riba, bermain judi dan lain-lain kebiasaan jahiliyah, terhapus dengan semata-mata turunnya Ayat Al-Quran atau pun dengan ucapan sabda Rasulullah SAW sedangkan penguasa-penguasa sekuler berusaha semaksimal mungkin memaksakan undang-undang melalui alat-alat selebaran umum dan melalui paksaan dan pengawasan polisi dan tentera. Tapi, upaya mereka itu tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Masyarakat justru semakin berleluasa melanggar undang-undang yang telah dikuat kuasakan itu.

Suatu sudut lain dari tabiat agama ini menjelma dalam program yang tegas ini, yaitu bahwa agama ini ialah suatu program yang praktis, bergerak dan serius. Ia didatangkan untuk menguasai kehidupan dan realitasnya dan untuk memimpin realitas, apakah menerima, menunda atau mengubahnya dari akarya.

Dari sini bisa disimpulkan bahwa program agama ini tidak membuat peraturan melainkan untuk keadaan yang benar-benar berlaku di dalam sebuah masyarakat yang mengakui bahwa kekuasaan itu hanya kepunyaan Allah semata.

Program itu bukanlah sekadar “teori” yang memuaskan imajinasi tertentu, bahkan ia adalah suatu program yang membimbing sebuah realitas. Oleh karena itu, maka yang paling utama sekali ialah wujudnya terlebih dahulu sebuah masyarakat yang mengakui: bahwa tiada Tuhan melainkan Allah (LA ILAAHA ILLALLAH) dan mengakui bahwa tiada kekuasaan melainkan kepunyaan Allah SWT saja dan menolak sembarang bentuk kekuasaan selain dari Allah dan menolak sembarang pandangan yang tidak dibangunkan di atas kaedah ini.

Bila saja masyarakat Islam itu wujud dan mempunyai kehidupan yang nyata, maka saat itulah ia membutuhkan peraturan dan sistem undang-undang bagi suatu kelompok manusia yang sudah siap patuh kepada perintah dan undang-undang Allah saja dan menolak sembarang peraturan dan undang-undang yang lain daripadanya.

Orang-orang yang beriman dan yakin kepada akidah ini mestilah punya kekuasaan atas diri mereka sendiri dan atas masyarakat mereka yang menjamin terlaksananya sistem dan undang-undang di dalam masyarakat itu sehingga sistem itu mempunyai kehebatannya dan undang-undang itu mempunyai keluhurannya selain daripada bahwa masyarakat itu mempunyai realitasnya sendiri.

Orang-orang Islam di zaman Mekah tidak punya kekuasaan atas diri mereka dan juga atas masyarakat mereka. Mereka tidak punya kenyataan hidup dan realitas yang tersendiri yang mereka dapat mengaturya menurut syariat Allah. Oleh kerana itu, di peringkat ini Allah SWT tidak menurunkan undang-undang dan sistem kemasyarakatan, melainkan Allah SWT menurunkan wahyu yang berkaitan dengan urusan kepercayaan dan moral yang menjelma dari akidah.

Namun, ketika kaum muslimin itu mempunyai sebuah negara yang berkuasa dan berdaulat di Madinah, Allah SWT pun menurunkan wahyu mengenai peraturan-peraturan hidup dan undang-undang, mengenai sistem pemerintahan dan sebagainya yang mengatur bagaimana memenuhi hajat masyarakat Muslim yang praktis dan yang dijamin pelaksanaannya oleh negara.

Allah tidak menurunkan ayat-ayat mengenai peraturan hidup dalam periode kehidupan mereka di Mekah supaya bisa mereka simpan sebagai bekal dan persediaan untuk kelak dilaksanakan bila saja berdiri negara Islam di Madinah. Hal itu karena bukanlah tabiat agama ini, juga karena agama ini lebih praktis daripada itu, dan lebih serius lagi.

Agama ini tidak membuat masalah-masalah pengandaian untuk dicari-cari penyelesaiannya di dalam khayalan. Ia dirancang untuk siap menghadapi kenyataan di mana saja ada masyarakat Islam yang rela tunduk kepada panduan Ilahi dan menolak sembarang panduan yang lain, dalam setiap keadaan dan suasana dan dalam setiap bentuk dan rupa.

Orang-orang zaman sekarang yang mendesak supaya Islam mengemukakan teori-teori mengenai sistem perundangan yang lengkap, supaya Islam membentuk dasar-dasar penyelesaian masalah-masalah yang mungkin timbul; sedangkan di bumi ini tiada lagi sebuah masyarakat yang telah memutuskan untuk hukum menurut perintah Allah dan menolak sembarang peraturan dan undang-undang selain dari syariat Allah, padahal mereka mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.

Orang-orang seperti itu, yang mendesak Islam berbuat demikian, adalah sebenarnya orang-orang yang tidak faham hakikat Islam dan bagaimana Islam itu bergerak di dalam hidup seperti yang dikehendaki oleh Allah.

Orang-orang seperti itu adalah orang-orang yang hendak mengubah tabiat, program dan sejarah agama ini; orang-orang yang hendak mengubah bentuk sejarah Islam supaya Islam ini sama setaraf dengan teori-teori bikinan manusia, setingkat dengan program ciptaan manusia.

Mereka juga adalah orang-orang yang mencoba memalingkan Islam dari landasannya yang sejati dan dari jalannya yang asli semata-mata untuk menyahut dan memenuhi keinginan sesaat dalam diri mereka, sebagai keinginan yang timbul dari kekecewaan jiwa mereka sendiri, kekecewaan mereka menghadapi konsep dan sistem-sistem bikinan manusia yang tidak mampu mereka hadapi.

Mereka bermaksud supaya Islam ikut menjadi kerdil seperti jiwa mereka. Supaya Islam menjadi suatu teori yang penuh dengan andaian-andaian yang menggelikan, untuk menghadapi masa depan yang tidak wujud. Allah menghendaki supaya agama ini mengikut kehendak-Nya. Allah menghendaki supaya Islam menjadi suatu akidah dan keyakinan hidup yang memenuhi ruang hati, yang menguasai akhlak dan nadi, akidah yang menentukan bahwa manusia tidak boleh tunduk selain kepada Allah dan tidak menerima peraturan hidup dan undang-undang yang lain dari peraturan dan undang-undang Allah.

Inilah bentuk yang dikehendaki oleh Allah mengenai agama ini, dan sekali-kali tidak akan berlaku melainkan apa yang dikehendaki oleh Allah walau apa jua pun keinginan manusia! Itu semuanya hendaklah difahami oleh para pendakwah Islam ketika mereka menyeru manusia untuk kembali menegakkan agama ini; perlu manusia itu diseru dan didakwah supaya menganut akidah ini, termasuk kepada orang-orang yang mengklaim diri mereka muslim!

Para dai wajib membina manusia bahwa Islam itu dasar awalnya adalah pengakuan dan ikrar dengan sebenarnya akan akidah LA ILAAHA ILLALLAH mengikut maknanya yang hakiki. Yaitu: mengembalikan hak memerintah kepada Allah saja di dalam seluruh urusan mereka, dan menolak setiap orang yang melanggar kekuasaan Allah dengan menyatakan bahwa hak memerintah itu adalah kepunyaan mereka (dan bukan kepunyaan Allah). Mengaku dan berikrar dengan sungguh-sungguh, pengakuan dan ikrar yang melekat di lubuk hati dan menjelma di dalam kenyataan dan keseharian hidup mereka.

Hendaklah persoalan ini menjadi asas dakwah agar manusia kembali ke jalan Islam. Karena persoalan ini telah menjadi asas dakwah menuju ke jalan Islam untuk yang telah dicontohkan oleh para generasi pertama dakwah yang telah diselenggarakan oleh Ayat-Ayat Al-Quran periode Mekah selama tiga belas tahun.

Apabila agama ini dianut oleh kelompok manusia berdasarkan pemahaman yang benar – maka kelompok itulah yang diberi nama “masyarakat Islam”. Yaitu masyarakat yang cukup kelayakan untuk menghayati sistem Islam dalam kehidupan mereka dalam bermasyarakat. Sebab mereka telah berikrar untuk hidup di atas asas ini seluruhnya dan tidak menerima kekuasaan pemerintahan yang lain atas kehidupannya selain dari kekuasaan dan perintah Allah.

Tabiat Manhaj AL-QURAN (1)

Dari Buku: Ma'alim fith Thariq atau Petunjuk Jalan.

Penulis: Sayyid Qutb.

Ayat-ayat Al-Quran periode Mekah telah diturunkan kepada Rasulullah SAW dalam waktu tiga belas tahun, dengan mengemukakan satu persoalan saja. Ya, hanya satu persoalan yang tidak berubah-ubah; tetapi cara mengemukakan persoalan itu hampir tidak berulang-ulang. Gaya dan penyajian Al-Quran mengemukakan persoalan itu luar biasa sekali, sehingga tampak seolah-olah persoalan itu masih tetap baru, bagaikan sesuatu yang baru saja dicetuskan untuk pertama kali.

Ayat-ayat Al-Quran periode Mekah itu menyelesaikan suatu persoalan besar, suatu persoalan utama dan penting, suatu persoalan dasar bagi agama yang baru muncul itu yaitu persoalan aqidah, yang diterapkan di atas pijakannya yang terpenting KETUHANAN dan PENGABDIAN serta hubungan antara keduanya.

Al-Quran periode Mekah mengarahkan hakikat ini kepada manusia sebagai manusia. Dalam hal ini, sama saja manusia Arab di zaman itu dengan manusia Arab di setiap zaman. Begitu pun dengan manusia bukan Arab di zaman itu dan zaman yang lain.

Persoalan yang dikemukakan oleh Ayat-Ayat Al-Quran periode Mekah itu ialah persoalan MANUSIA yang tidak pernah berubah, karena ia adalah persoalan keberadaan manusia di alam ini dan juga persoalan kesudahan manusia itu. Persoalan hubungan manusia dengan alam dan dengan semua yang hidup di dunia ini, juga persoalan hubungan manusia dengan Tuhan Pencipta alam dan Pencipta seluruh kehidupan. Persoalan itu adalah suatu yang tetap dan tidak akan berubah, karena ia adalah persoalan wujud ini seluruhnya dan persoalan manusia itu sendiri.

Al-Quran periode Mekah telah memberi penjelasan kepada manusia tentang rahasia wujud manusia itu sendiri dan wujud dunia di sekitarnya. Ia mengatakan kepada manusia siapakah sebenarnya dia (manusia) itu? Dari manakah dia datang? Untuk apa dia datang ke dunia?

Kemudian ke manakah arah perjalanannya? Siapakah yang membawanya keluar dari alam yang serba tiada, yang serba majhul dan serba tidak diketahui itu? Siapakah pula yang akan membawanya pergi kemudiannya dan bagaimanakah nasibnya di sana kelak? Al-Quran menceritakan kepadanya lagi tentang apakah hakikat wujud yang di rasa dan dilihatnya itu? Dan yang dirasakannya bahwa di balik wujud ini ada suatu kekuatan ghaib yang sedang mengawasinya sementara sesuatu itu tidak terlihat?

Siapakah yang mengatur dan mengarahkan perjalanannya? Siapakah pula yang memberikan bentuk dan rupanya? Siapakah pula yang membaharui dan menukarnya. Di samping itu, Al-Quran mengajarnya tentang bagaimanakah dia mesti berhubungan dengan Tuhan Pencipta alam ini, dan bagaimanakah dia berhubungan dengan alam itu sendiri seperti ia menerangkan bagaimanakah hamba-hamba Tuhan itu saling membuat hubungan antara sesama mereka.

Persoalan yang disebutkan di atas itu adalah persoalan besar yang menjadi tonggak keberadaan manusia. Ia akan tetap menjadi persoalan utama dan asasi bagi keberadaan umat manusia di sepanjang zaman.

Demikianlah berlalunya waktu tiga belas tahun dalam menerapkan persoalan yang agung ini, persoalan utama seluruh kehidupan umat manusia itu sendiri, yang tanpanya seluruh hidupnya tidak ada arti sama sekali.

Al-Quran periode Mekah tidak melampaui persoalan pokok ini untuk mengemukakan persoalan-persoalan lain mengenai sistem kehidupan, melainkan setelah Allah mengetahui bahwa persoalan itu sudah diterangkan dengan secukupnya bahwa ianya telah menyatu dan menjadi darah daging generasi umat yang terpilih itu, yang telah ditakdirkan Allah bahwa agama Islam ini akan dibangun melalui generasi ini. Generasi inilah yang mengendalikan pelaksanaan sistem yang mencerminkan agama ini.

Dan para dai di jalan agama Allah, dan ke arah terlaksananya sistem yang dipandu oleh agama ini di alam hidup nyata, semestinya memberikan perhatian penuh kepada fakta ini. Fakta pemusatan perhatian yang diberikan oleh ayat-ayat Al-Quran periode Mekah untuk menerapkan akidah ini, kemudian kepada fakta bahwa ayat-ayat periode Mekah itu tidak melampaui ke arah penghuraian yang luas mengenai sistem yang menjadi dasarnya, dan undang-undang yang mengatur hidup manusia Muslim.

Dengan hikmat dan kebijaksanaan Allah SWT, telah ditentukan bahwa persoalan akidah adalah persoalan pokok bagi dakwah ini sejak zaman permulaan kerasulan Nabi Muharmnad SAW; dan bahwa Rasulullah SAW memulai langkah pertamanya di dalam dakwah ini dengan menyeru dan mengajak manusia berikrar bahwa Tiada Tuhan melainkan Allah juga bahwa beliau meneruskan dakwah dengan membimbing umat manusia supaya dapat mengenal Tuhan mereka yang sebenarnya dan supaya mereka mengabdikan diri hanya kepada Tuhan saja.

Persoalan ini, baik ditinjau dari sudut kenyataan yang lahir maupun dari sudut pemikiran manusia yang terbatas itu, bukanlah suatu persoalan yang mudah diterapkan ke dalam hati orang-orang Arab. Hal ini karena mereka mengerti dari makna bahasa mereka sendiri apakah makna perkataan ilah (Tuhan) dan juga tujuan perkataan LA ILAAHA 1LIALLAH.

Mereka mengerti bahwa uluhiyah (ketuhanan) itu berarti hakimiyah (penguasaan) yang tertinggi. Mereka mengerti juga bahwa mengesakan Allah melalui ikrar kalimah syahadat itu adalah berarti mencabut sama sekali kekuasaan yang dipegang oleh para pemuka agama, ketua-ketua suku, oleh raja-raja, dan penguasa-penguasa; dan menyerahkan kekuasaan itu hanya kepada Allah saja. Kekuasaan atas hati nurani, atas lambang kebesaran, atas kenyataan hidup, kekuasaan dalam mengatur urusan harta benda, dalam urusan undang-undang dan juga dalam urusan yang berkaitan dengan jiwa dan tubuh.

Mereka mengerti bahwa LA ILAAHA ILLALLAH itu adalah merupakan pernyataan revolusi terhadap kekuasaan duniawi yang telah merampas sifat khusus Tuhan yang utama. Revolusi terhadap kenyataan hidup yang bersandar kepada rampasan atas sifat Tuhan, dan merupakan pemberontakan terhadap peraturan, undang-undang, dan orang-orang yang memerintah berdasarkan undang-undangnya sendiri, yang tidak diridhai oleh Allah.

Orang-orang Arab itu paham betul ke mana arah tujuan perkataan LA ILAAHA IILALLAH itu dalam konteks kenyataan hidup mereka, dengan kekuasaan dan kepemimpinan mereka. Oleh sebab itulah mereka menentang dakwah atau revolusi itu begitu hebat dan mereka memeranginya habis-habisan seperti yang telah diketahui umum.

Tetapi mengapakah justru persoalan ini yang menjadi titik permulaan dakwah ini dan kenapa pula hikmah dan kebijaksanaan Allah SWT telah menentukan bahwa persoalan ini mesti dijalankan dengan penuh risiko?

Rasulullah SAW telah diutus membawa agama ini ketika daerah dan wilayah negeri Arab yang paling subur dan kaya tidak dikuasai oleh orang-orang Arab, malah dikuasai oleh bangsa-bangsa lain.

Wilayah-wilayah Syam di sebelah utara semuanya dikuasai oleh bangsa Romawi, diperintah oleh raja-raja dan pangeran-pangeran Arab atas nama Kerajaan Romawi. Wilayah-wilayah Yaman di sebelah selatan pun ditakluki oleh kerajaan Parsi dengan diperintah oleh kaum bangsawan Arab di bawah naungan Kekaisaran Parsi. Hanya wilayah Hijaz, Tihamah, Najd dan daerah-daerah berpadang pasir yang kering dan tandus, dengan diselingi oasis-oasis di sana sini saja yang dikuasai oleh orang Arab.

Mungkin ada orang berkata: bahwa Nabi Muhammad SAW itu bisa menggunakan pengaruh peribadinya yang terkenal jujur dan disanjung banyak orang itu, pernah diangkat menjadi hakim menyelesaikan perselisihan suku-suku Arab mengenai HAJAR ASWAD, dan semua golongan berpuas hati menerima keputusan yang beliau lakukan itu, lima belas tahun sebelum beliau dilantik menjadi Rasul.

Selain itu, dengan pengaruh keturunan dan kedudukan tinggi beliau di kalangan Bani Hasyim orang mengatakan bahwa beliau mampu dan berupaya membangkitkan rasa kebangsaan Arab yang telah purak puranda akibat luasnya rasa dendam-mendendam dan hasad dengki, untuk mengarahkan mereka ke arah paham kesukuan dan kebangsaan, untuk merebut seluruh tanah air mereka dari tangan para kaisar yang menjajah dan menakluknya, yaitu kerajaan Romawi dan Parsi dan mengibarkan bendera kebangsaan Arab serta mendirikan sebuah Negara Nasional Arab di seluruh Semenanjung Arabia.

Mungkin ada pula yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW itu akan lebih bijaksana jika setelah seluruh bangsa Arab mengikutinya dan menobatkan beliau sebagai pemimpin kebangsaan, dan setelah dapat mengumpulkan kekuasaan di dalam tangannya, jika beliau pergunakan kesempatan itu untuk menegakkan kalimah tauhid, untuk membawa umat manusia tunduk kepada kekuasaan Ilahi setelah mereka tunduk di bawah kekuasaan duniawi beliau.

Tetapi Allah SWT - Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana tidak mengarahkan Rasulullah SAW berbuat demikian, malah diarahkannya supaya bertahan dengan ikrar dan syahadat LA ILAAHA ILLALLAH dan supaya sanggup menanggung derita akibatnya, bersama-sama dengan para sahabat beliau yang terlalu kecil jumlahnya.

Mengapa demikian? Sesungguhnya Allah SWT tidak bermaksud menyiksa Rasul-Nya dan orang-orang beriman bersama beliau, malah Allah SWT Maha Mengetahui bahwa bukanlah itu jalannya. Bukanlah jalannya bahwa bumi ini lepas bebas dari tangan taghut berbangsa Romawi atau taghut berbangsa Parsi untuk berpindah tunduk di bawah tangan taghut berbangsa Arab, karena taghut itu adalah tetap taghut, siapa pun dia.

Bumi ini adalah kepunyaan Allah. Dunia ini baru semuanya menjadi kepunyaan Allah kalau telah berkibar di sna Bendera La Ilaaha Illallah. Yaitu, dengan pengertian la ilaha illallah yang dikenal oleh orang Arab yang mengetahui pengertian bahasanya: yang berkuasa hanya Allah, hukum hanya yang datang dari Allah, seseorang tidak mempunyai kekuasaan terhadap orang lain, karena kekuasaan itu seluruhnya kepunyaan Allah.

Kewarganegaraan yang dikehendaki oleh Islam untuk manusia adalah kewarganegaraan akidah, sama kedudukannya seorang Arab dengan seorang Romawi dan Parsi. Setiap jenis dan warna harus tunduk di bawah panji Allah. Dan inilah jalannya.

Rasulullah SAW diutus membawa agama ini di saat ketika masyarakat Arab merupakan sebuah masyarakat yang kacau dan tidak teratur. Pembagian kekayaan dan keadilan hanya dikuasai segelintir manusia yang memiliki harta benda dan perniagaan, urusan pertukaran barang dan membungakan uang (riba). Terjadilah penumpukan harta di kalangan orang tertentu saja, sedangkan golongan terbesar tidak punya sesuatu apa pun selain dari lapar dan derita. Orang-orang yang kaya menjadi orang yang mulia dan berkedudukan tinggi, sedangkan golongan terbesar yang tak punya uang dan kekayaan tidak ada kesempatan pun.

Mungkin orang akan berkata: Nabi Muhammad SAW berupaya mengubah bentuk masyarakat itu dan mencetuskan suatu revolusi sosial untuk menghapuskan golongan bangsawan itu dan menjalankan seruan untuk menyusun ulang masyarakat secara adil dan membagi-bagikan harta benda orang-orang kaya kepada orang-orang miskin.

Mungkin ada orang yang berkata begini: Seandainya Rasulullah SAW menjalankan seruan ke arah ini niscaya masyarakat Arab akan hanya terbagi kepada dua golongan saja, yaitu golongan berada dan golongan tak berada.

Golongan terbanyak, yaitu golongan tak berada pasti akan mendukung seruan itu untuk menentang kekuasaan harta benda orang-orang kaya yang jumlahnya kecil. Cara ini lebih baik daripada melakukan dakwah ke arah akidah yang telah ditentang oleh sebagian besar masyarakat, baik kaya maupun miskin, dan tidak dapat pengikut kecuali beberapa gelintir manusia tertentu saja.

Barang kali ada yang mengatakan: sebaiknya Muhammad saw. setelah orang banyak menyambutnya dan menjadikannya pemimpin, dan dengan begitu mengalahkan minoritas dan mudah memimpinnya, baru ia mempergunakan posisinya dan kekuasaannya untuk menanamkan akidah Tauhid yang dengannya ia diutus Tuhannya menghambakan manusia kepada kekuasaan Tuhan mereka, setelah ia menghambakan manusia itu kepada kekuasaan manusiawi dirinya sendri.

Namun, Allah SWT Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana tidak mengarahkan beliau berbuat begitu karena Allah SWT Maha Mengetahui bahwa itu bukanlah jalannya.

Allah Maha Tahu bahwa keadilan sosial hanya akan dapat diwujudkan di dalam masyarakat, dari sumber keyakinan yang lengkap, yang menyerahkan segala sesuatu kepada Allah SWT, sambil menerima dengan penuh kerelaan hati akan semua yang ditentukan Allah SWT di dalam masalah pembagian harta, dalam masalah jaminan sosial untuk seluruh masyarakat; dan kepercayaan ini menjadi ketenangan hati baik dari pihak yang mengambil dan pihak yang diambil, dengan pengertian bahwa mereka melaksanakan suatu sistem yang telah ditentukan oleh Allah SWT dengan penuh harapan bahwa ketaatan, kepatuhan dan kebaktian yang dilakukannya akan mendatangkan kebajikan dan kebaikan dunia dan akhirat.

Dengan demikian, maka rasa tamak dan dendam, dengki terhadap sesama anggota masyarakat tidak akan dapat bersarang di lubuk hati. Semua urusan dijalankan dengan beres tanpa tekanan dan paksaan, tanpa ancaman dan teror.

Hati manusia tidak rusak dan jiwa mereka pun tidak akan bangkrut seperti yang terjadi di mana saja di bawah sistem hidup yang berlandaskan kalimah tauhid LA ILAAHA ILLALLAH.

Generasi Al-Quran yang Unik

Dari Buku: Ma'alim fith Thariq atau Petunjuk Jalan.

Penulis: Sayyid Qutb.


Dakwah Islamiyah telah melahirkan satu generasi manusia, generasi sahabat Rasulullah SAW, Ridhwanullahi alaihim. Yaitu suatu generasi yang paling istimewa di dalam sejarah Islam dan sejarah kemanusiaan lainnya.

Generasi itu tidak pernah muncul dan timbul lagi sesudah itu, walaupun terdapat juga beberapa pribadi dan tokoh tertentu di sepanjang sejarah, tetapi tidaklah lahir lagi segolongan besar manusia, di satu tempat yang tertentu pula, seperti yang telah muncul dan lahir di dalam generasi pertama dakwah ini.

Ini adalah satu fakta dan kenyataan yang tak terbantahkan yang di dalamnya mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu kita perhatikan dan renungkan dengan sungguh-sungguh, agar dapat kita menyelami rahasianya.

Al-Quran yang menjadi sumber dakwah ini masih berada bersama-sama kita. Hadis Rasulullah SAW dan petunjuk-petunjuk perjalanan hidup dan sirahnya yang mulia itu juga masih ada di samping kita. Keduanya juga telah ada bersama-sama dengan generasi yang terdahulu itu, tidak hilang oleh perjalanan sejarah dan tidak lapuk oleh perkembangan zaman; hanya diri Rasulullah SAW saja yang tidak lagi bersama kita sekarang. Inikah rahasia perbedaan antara generasi sahabat dengan generasi kita saat ini?

Allah SWT telah memberikan jaminan untuk memelihara Al-Quran, dan telah mengetahui bahwa dakwah ini harus terus tegak selepas zaman Rasulullah SAW. Setelah membuahkan hasil yang baik; lalu diwafatkan-Nya Rasulullah SAW setelah 23 tahun beliau menjalankan tugas dakwah dan menyampaikan tugas kenabian. Allah SWT akan tetap memelihara agamaNya ini hingga ke hari kiamat. Dengan demikian, maka ketiadaan diri Rasulullah SAW itu tidak boleh dijadikan jawaban atas kegagalan dakwah di zaman ini.

Pasti ada sebab lain yang membedakan antara generasi kita dengan generasi sahabat Rasulullah saw. Mari kita lihat pada sumber rujukan generasi pertama itu. Mungkin
sesuatunya telah berubah. Kemudian kita lihat pula kepada program dan jalan yang telah dilalui mereka, barangkali ada sesuatu yang berlainan dengan kita.

Sumber pokok yang dijadikan rujukan oleh generasi pertama itu ialah Al-Quran, hanya Al-Quran saja. Hadis Rasulullah SAW dan petunjuk-petunjuk beliau adalah semata-mata merupakan penafsiran kepada sumber utama itu. Ketika `Aisyah Radhiallahu'anha ditanya mengenai perilaku dan perjalanan hidup Rasulullah SAW maka beliau menjawab: “Perilaku dan perjalanan hidup beliau [Rasulullah SAW] itu ialah Al-Quran” (Hadis riwayat Nasai)

Hanya Al-Quran sajalah yang menjadi sumber panduan mereka, perjalanan hidup dan gerak-gerik mereka. Ini bukanlah karena umat manusia di zaman itu tidak punya peradaban, tidak punya kebudayaan, tidak punya pelajaran, tidak punya buku karangan dan tidak punya kajian!

Sekali lagi tidak! Karena sebenarnya di zaman itu telah ada peradaban dan kebudayaan Romawi, buku-buku dan undang-undangnya, yang telah dan masih diikut dan dijadikan panduan oleh orang-orang Eropa sampai hari ini. Di sana juga telah wujud peninggalan peradaban Yunani (Greek), ilmu mantiknya, falsafah dan keseniannya, yang juga masih menjadi sumber pemikiran Barat hingga sekarang; malah di sana juga telah wujud peradaban Parsi, keseniannya, sajaknya, syair dan
dongengnya, kepercayaan dan sistem perundangannya, serta peradaban lain,
seperti India, China.

Romawi dan Parsi berada di sekeliling semenanjung Arab, baik di utara maupun di selatan. Ditambah lagi agama Yahudi dan Nasrani yang telah ada di tengah-tengah semenanjung itu sejak berapa lama.

Jadi bukanlah faktor kekurangan peradaban dan kebudayaan duniawi yang menyebabkan generasi pertama itu merujuk kepada Kitab Allah (Al-Quran) saja
dalam masa pertumbuhan mereka, tapi justeru karena “planning” yang telah ditentukan dan program yang telah diatur.

Dalil yang terang atas keadaan ini ialah kemurkaan Rasulullah SAW ketika beliau melihat Sayyidina Umar bin Al-Khattab R.A. memegang sehelai kitab Taurat. Melihat keadaan ini beliau pun bersabda: “Demi Allah sekiranya Nabi Musa masih hidup bersama-sama kamu sekarang ini, tidak halal baginya melainkan mesti mengikut ajaranku.” (Hadis riwayat Al-hafidz Abu Ya'la dari Hammad dari Asy-sya'bi dari Jabir)

Yang demikian maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa Rasulullah SAW, bermaksud dan mengarahkan supaya sumber panduan dan pengajaran generasi pertama itu, dalam peringkat pertumbuhan mereka, hanya terbatas kepada kitab Allah (Al-Quran) saja supaya jiwa mereka menyatu dengan programNya yang tunggal itu. Karena itulah beliau murka melihat Umar bin Al-Khattab R.A. mencoba mencari panduan lain selain Al-Quran.

Rasulullah SAW bertujuan membentuk satu generasi yang bersih hatinya, bersih pemikirannya, bersih pandangan hidupnya, bersih perasaannya, dan murnii jalan hidupnya dari unsur lain selain landasan Ilahi yang terkandung dalam Al-Quranul Karim.

Generasi sahabat Rasul menerima panduannya dari sumber yang tunggal. Oleh kerana itulah generasi itu telah berhasil membentuk sejarah gemilang di zamannya. Lalu, apakah yang telah terjadi saat ini?

Sumber-sumber panduan itu saat ini telah bercampur baur! Sumber itu telah dimasuki falsafah Yunani (Greek), dongeng-dongeng dan pandangan hidup Parsi, cerita-cerita Israeliat Yahudi, falsafah Ketuhanan ala-Kristian yang telah bercampur baur di dalam tafsir Al-Quran dan ilmu Al-Kalam, dan juga telah dimasuki oleh peninggalan peradaban zaman lampau yang sukar dikikis.

Di samping itu, banyak lagi sumber panduan lain yang telah bercampur baur dengan tafsir Al-Quran, ilmu Al-Kalam, ilmu fiqih dan ilmu usuluddin. Campuran panduan inilah yang telah melahirkan generasi-generasi berikutnya. Karena itulah maka bentuk generasi pertama yaitu generasi para sahabat Rasulullah SAW, tidak lahir lagi setelah mereka.

Memang tak dapat diragukan lagi bahwa bercampur-baurnya sumber panduan itulah yang menjadi faktor utama mengapa generasi berikutnya berlainan sama sekali dari bentuk generasi pertama yang unggul itu.

Di sana, ada satu lagi faktor asasi selain daripada perubahan sumber itu, yaitu berbedanya cara menerima pengajaran antara generasi para sahabat Rasulullah SAW
dengan generasi-generasi kemudiannya.

Mereka, para sahabat Rasulullah di dalam generasi pertama itu, tidak mendekatkan diri mereka dengan Al-Quran dengan tujuan mencari pelajaran dan bahan bacaan. Bukan juga dengan tujuan mencari hiburan dan penglipur lara. Tiada seorang pun dari mereka yang belajar Al-Quran dengan tujuan menambah bekal dan bahan ilmu semata-mata untuk ilmu dan bukan juga dengan maksud menambah bahan ilmu dan akademi untuk mengisi dada mereka saja.

Generasi sahabat mempelajari Al-Quran itu dengan maksud hendak belajar bagaimanakah arahan dan perintah Allah dalam urusan hidup pribadinya dan hidup bermasyarakat. Mereka belajar untuk dilaksanakan dengan segera, seperti seorang perajurit menerima “arahan harian”!

Juga tiada seorang pun dari mereka yang mencari pelajaran tambahan atau pun arahan tambahan dalam satu majelis pengajian atau suatu majelis taklim saja, karena dia tahu bahwa yang demikian itu akan menambah beratnya tugas. Kadang-kadang, mereka cukup dengan hanya sepuluh ayat saja sehingga benar-benar menghafalnya dan dilaksanakan arahan-arahannya seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud r.a.

Sikap inilah yang terbentuk: yaitu belajar untuk melaksanakan, yang telah menambah
luasnya lapangan hidup mereka, menambah luasnya ma'rifat dan pengalaman mereka dari ajaran Al-Quran yang tidak mungkin mereka capai kalau sekadar belajar dari Al-Quran dengan tujuan menyelidik dan mengkaji serta membaca saja.

Perasaan belajar untuk melaksanakan ini jugalah yang telah memudahkan mereka bekerja dan meringankan beban mereka yang berat, karena Al-Quran telah menyatu dan menjadi darah daging mereka.

Perasaan ini jugalah yang menjadikan Al-Quran tertanam kuat ke dalam jiwa mereka hingga meresap menjadi panduan dalam gerakan mereka, ia melahirkan pelajaran yang menggerakkan aktivitas, pelajaran yang tidak lagi merupakan teori yang bersarang di dalam kepala manusia dan di halaman kertas dan buku-buku saja. Bahkan ianya menjadi kenyataan yang melahirkan kesan dan peristiwa yang mengubah garisan hidup.

Al-Quran tidak akan memberi dan mencurahkan isi perbendaharaannya kecuali kepada orang yang datang bertumpu kepadanya dengan ruh dan jiwa ini: yaitu ruh dan jiwa ma'rifat yang membuahkan amal dan tindakan.

Al-Quran datang bukan sebagai sebuah buku penglipur lara, bukan sebagai sebuah buku sastera, juga bukan sebagai buku kesenian, sejarah dan novel; ia datang untuk
dijadikan panduan hidup, panduan Ilahi yang tulen; dan Allah SWf sendiri telah
merasmikan Al-Quran ini sebagai garis pemisah di antara hak dan batil.

Firman Allah:
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرََأهُ عََلى النَّاسِ عََلى مُكْثٍ وَنَزَّْلنَاهُ تَترِي ً لا
“Dan Al-Quran itu telah Kami bagi-bagikan dia agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dengan lambat dan tenang dan Kami menurunkannya dengan beransur-ansur.” (Al-Isra': 106)

Al-Quran tidak diturunkan sekaligus. Ia diturunkan mengikut keperluan-keperluan yang senantiasa berubah, mengikuti perkembangan fikiran dan pandangan hidup serta perubahan masyarakat. Ia diturunkan mengikuti perkembangan masalah praktis dan fakta kehidupan masyarakat Islam.

Ayat demi ayat diturunkan untuk suasana tertentu dan peristiwa khusus dan untuk
membongkar isi hati manusia; untuk menggambarkan urusan yang mereka hadapi,
dan menggariskan program kerja mereka dalam sesuatu suasana, juga untuk memperbaiki kekhilapan perasaan dan perjalanan hidup, supaya mereka senantiasa
merasa terikat dengan Allah dalam setiap suasana.

Ia diturunkan secara bertahap agar bisa mengajar mereka mengenal Allah SWT melalui sifat-sifatNya dan juga melalui bukti-bukti perkembangan dan perubahan alam. Dengan demikian mereka akan merasakan bahwa diri mereka terus menerus terikat dengan tunduk kepada Allah SWT, terus menerus di bawah perhatian Ilahi.

Ketika itu, mereka merasakan bahwa mereka sedang hidup di bawah pengawasan Allah SWT secara langsung.

Dasar “belajar untuk melaksanakan terus” itu merupakan faktor utama membentuk generasi pertama dahulu, manakala dasar “belajar untuk, dibuat kajian dan penglipurlara” itulah yang merupakan faktor penting yang melahirkan
generasi-generasi kemudiannya.

Tidak syak lagi bahwa faktor kedua inilah bukti sebab utama mengapa generasi-generasi yang lain itu berlainan sama sekali dengan generasi pertama, generasi para sahabat Rasulullah SAW.

Di sana ada satu lagi faktor yang mesti diperhatikan dan dicatat benar-benar.
Seorang yang menganut Islam itu sebenarnya telah melepas dirinya dari segala sesuatu di masa lampaunya di alam jahiliyah.

Dia merasakan ketika pertama kali menganut Islam, itulah zaman baru dalam hidupnya; terpisah sejauh-jauhnya dari hidupnya yang lampau di zaman jahiliyah. Sikapnya terhadap segala sesuatu yang berlaku di zaman jahiliyah dahulu ialah
sikap seorang yang sangat berhati-hati dan berwaspada.

Dia merasakan bahwa segala sesuatu di zaman jahiliyah dahulu adalah kotor dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dengan perasaan inilah dia menerima hidayah dan petunjuk Islam yang baru itu dan sekiranya dia didorong oleh nafsunya sesekali, atau sejenak dia merasa tertarik dengan kebiasaannya yang dahulu, atau kalau dia merasa
lemah dari menjalankan tugas dan kewajipan keislamannya sesuatu ketika, niscaya
dia merasa bersalah dan berdosa.

Dia merasakan dari lubuk hatinya bahwa dia perlu membersihkan dirinya dari apa yang berlaku itu; lalu dia berusaha sedaya upaya mengikuti panduan yang digariskan oleh Al-Quran.

Di sana juga terdapat pemisahan secara total antara zaman lampau seseorang Muslim dalam keadaan jahiliyahnya dengan zaman barunya di dalam Islam, yang akan menimbulkan pula pemisahan secara menyuluruh dalam segenap hubungannya dengan masyarakat jahiliyah.

Dia melepas total dengan tata hidup masyarakat jahiliyah dahulu dan berhubungan langsung selama-lamanya dengan masyarakat Islam; walaupun kelihatan pada lahirnya dia sering berhubungan dengan orang-orang musyrik dalam perdagangan
dan pergaulan hidup seharian, tetapi perpisahan perasaan dan pergaulan hidup
seharian adalah dua hal yang berlainan dan berbeda sekali.

Di sana ada semacam pemisahan, yaitu perpisahan suasana jahiliyah dalam kebiasaan dan pandangannya, adat dan tingkah laku, yang timbul dari pemisahan syirik ke akidah tauhid. Dari konsep jahiliyah ke konsep Islam mengenai masalah hakikat hidup dan hakikat wujud; juga timbul dari keberadaannya dengan perkumpulan dan organisasi Islam yang baru, di bawah pimpinan baru, dan sikap memberi segenap perhatian, kepatuhan dan kesetiaan kepada masyarakat, perkumpulan dan organisasi baru di bawah pimpinan baru itu.

Inilah dia persimpangan jalan dan permulaan langkah di jalan baru, langkah yang bebas merdeka dari segala tekanan adat kotor yang dipatuhi sepenuhnya oleh masyarakat jahiliyah dan segala nilai yang menjadi kebiasaannya.

Di sana tiada risiko yang akan ditempuh selain dari ujian dan penderitaan. Namun demikian, mereka secara otomatis telah bertekad bulat untuk tidak akan kembali lagi kepada kebiasaan dan perilaku jahiliyah, buat selama-lamanya.

Kita sekarang sedang berada di tengah-tengah suasana jahiliyah yang serupa dengan suasana jahiliyah yang ada pada zaman kedatangan Islam dahulu. Bahkan, lebih gelap lagi.

Segala sesuatu di sekitar kita ialah jahiliyah konsep hidup manusia sekarang, akidah kepercayaan mereka, adat istiadat dan kebiasan mereka, sumber pelajaran seni dan sastera mereka, peraturan dan undang-undang mereka, hingga banyak perkara yang kita anggap sebagai pelajaran Islam, buku rujukan Islam, falsafah Islam dan pemikiran Islam sebenarnya adalah hasil ciptaan jahiliyah!

Oleh kerana itulah maka nilai Islam saat ini tidak lagi murni dan tidak hidup subur di
dalam jiwa kita. Teori Islam tidak begitu terang lagi di dalam pemikiran dan ide. Di kalangan kita sekarang, tidak lagi muncul suatu generasi manusia raksaksa dari
model yang dilahirkan oleh Islam di zaman pertama dahulu.

Oleh itu, di dalam program gerakan ke-Islaman, kita mesti membebaskan diri di peringkat permulaan, di peringkat taman kanak-kanak lagi, dari berbagai pengaruh jahiliyah yang selalu menghayati kita sekarang.

Kita mesti kembali ke pangkal jalan, kepada sumber yang murni yang telah digali dan ditimba oleh orang-orang sebelum kita; yaitu sumber yang terjamin tidak bercampur baur dengan sumber yang lain.

Kita mesti kembali kepada Al-Quran untuk mendapatkan teori mengenai hakikat wujud seutuhnya dan juga hakikat wujudnya umat manusia dan segala hubungan di antara kedua jenis wujud ini dengan wujud yang hakiki, yaitu wujud Allah SWT.

Dari situlah kita mengambil pandangan terhadap hidup, kita mengambil nilai diri dan akhlak kita, serta kita mengambil panduan dan program pemerintahan, politik, ekonomi dan segala aspek kehidupan kita.

Bila kita kembali kepada Al-Quran, maka kita mestilah kembali berdasarkan kaedah dan dasar “belajar untuk melaksanakan”, bukan dengan kaedah dan dasar belajar untuk sekadar pengetahuan dan menglipur lara.

Kita kembali kepada Al-Quran untuk mengetahui apa yang diinginkan Al-Quran untuk kita lakukan, maka kita lakukan. Dan di dalam perjalanan itu, kita akan bertemu dengan keindahan seni Al-Quran, dengan cerita dan kisah yang heroik dan juga dengan pandangan-pandangan kiamat di dalam Al-Quran, juga dengan logika kesedaran hati nurani di dalam Al-Quran, dan juga dengan semua yang dicari-cari oleh para peneliti...

Ya, kita akan jumpai semuanya itu. Bukan dengan maksud hendak belajar dan menglipur lara tapi dengan tujuan utama hendak mengetahui apakah pekerjaan yang Al-Quran kehendaki untuk kita kerjakan? Apakah konsep umum yang Al-Quran kehendaki untuk kita berkonsep? Bagaimanakah tuntutan Al-Quran mengenai pandangan dan perasaan kita terhadap Allah SWT? Dan bagaimanakah tuntutan Al-Quran mengenai akhlak kita, realitas hidup kita, dan bagaimanakah corak sistem kita di dalam hidup ini?

Kemudian kita mesti membebaskan diri dari kungkungan masyarakat jahiliyah, dari kungkungan konsep jahiliyah, dari adat busuk jahiliyah dan juga dari pimpinan ala
jahiliyah di dalam hidup diri kita sendiri.

Bukanlah tugas kita untuk berkompromi dengan realitas masyarakat jahiliyah sekarang dan bukan untuk tunduk dan menumpahkan kesetiaan kepadanya. Sebab keadaan realitas jahiliyah itu tidak memungkinkan kita berkompromi dengannya sama sekali.

Tugas utama kita ialah mengubah realitas masyarakat ini. Tugas utama kita ialah mencabut realitas jahiliyah itu dari akarya, realitas yang bertentangan dan melanggar secara prinsif dengan aspirasi Islam dan dengan konsep Islam. Realitas yang menghalang kita dengan menggunakan kekerasan dan tekanan dari kita hidup seperti yang dikehendaki oleh program Ilahi.

Langkah pertama di dalam perjalanan kita ialah menghapuskan masyarakat jahiliyah ini, nilai-nilai dan teori-teorinya. Kita tidak boleh melakukan penyesuaian sedikit
pun untuk kemudian berharap bisa mencari irisan di dalamnya. Sekali lagi tidak!

Karena jalan kita adalah berlainan dan bersimpangan dengan jalan jahiliyah. Seandainya kita mencoba berjalan seiring dengannya, walaupun cuma selangkah, niscaya kita kehilangan pedoman dan kita akan meraba dalam kesesatan.

Dalam hal ini, kita akan menempuh berbagai bentuk kesusahan dan penderitaan, kita akan menyumbangkan pengorbanan yang besar dan dahsyat. Dan ini suatu pilihan yang tidak ada pilihan lain kalau kita benar-benar hendak mengikuti langkah generasi pertama yang ditampilkan oleh Allah, yang telah menghancur dan memusnahkan jalan jahiliyah itu.

Adalah baik sekali bagi kita untuk tetap menyadari bentuk program dan landasan kita, menyadari tabiat sikap kita dan juga tabiat jalan yang mesti kita lalui untuk keluar dari suasana jahiliyah yang telah dilalui oleh generasi yang agung dan unik itu.